Dalam buku kecilnya berjudul “Nostalgia di Jakarta: Cuplikan Kisah-Kisah ‘Edan’ Seputar Jakarta di Masa Lalu” (Javamedia: Juni 2008) yang ditulis oleh Zaenuddin HM, seorang jurnalis senior kelahiran Betawi yang kini aktif di salah satu harian nasional, ditulis salah satu fakta yang sangat menarik tentang bioskop di Djakarta Tempo Doeloe.
Pada halaman 31 dengan judul tulisan “Pulang Nonton Bioskop, Suami-Isteri Berpisah” ditulis bahwa dahulu kala di Jakarta belum banyak berdiri bioskop seperti sekarang ini. Zaenuddin HM menulis, “Sejak tahun 1900-an dunia film Indonesia sudah ada dan mulai tumbuh. Di Jakarta khususnya, film diputar melalui bioskop keliling. Waktu itu memang belum ada gedung bioskop permanen. Lagi pula film-film yang diputar kala itu masih jenis film gagu alias tidak ada suara dan dialog di dalam ceritanya…”
Suatu waktu, di dekat Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), didirikanlah sebuah bioskop yang sangat sederhana. Lalu kemudian berdiri pula beberapa bioskop dengan kondisi yang lebih baik.
“Yang unik dari bioskop-bioskop di Jakarta tempo dulu itu adalah tempat duduknya. Kenapa? Sebab tempat duduknya dipisah, untuk penonton pria ataupun wanita. Pemisahannya berupa lorong yang membelah sepanjang tengah-tengah bangsal dari depan dan belakang. Mengapa sampai dipisah, mungkin karena pertimbangan moral saat itu, ” lanjut Zaenuddin HM.
Uniknya lagi, dan ini bisa bikin kita tertawa, seringkali ketika bioskop bubar, banyak pasangan suami-isteri saling mencari dan terpaksa teriak-teriak, bahkan tak jarang ada yang pulang sendiri-sendiri lantaran tidak bersua juga. “Akibatnya bisa fatal, setelah pulang dari bioskop, di rumah bukannya tambah mesra justru bertengkar dan saling menyalahkan. Wah, bisa gawat. Itulah nostalgianya, ” tulis Zaenuddin HM sebagai penutup tulisan tersebut. Lucu? Memang.
Namun sebenarnya dari tulisan itu kita bisa memetik hikmah bahwa sebenarnya jika pemerintah memiliki niat baik, tidak ada salahnya meneladani sistem gedung bioskop di zaman baheula ini. Di bidang transportasi pernah diuji coba pemisahan antara penumpang pria dan wanita di gerbong kereta api listrik yang berbeda, walau tidak maksimal, karena memang tidak dipersiapkan secara matang oleh pemerintah. Jika dipersiapkan secara matang akan lain soalnya.
Kerusakan moral masyarakat kita ini sudah kelewat batas. Sebab itu, pemerintah hendaknya mau lebih giat bersikap pro-aktif dalam memberantas penyakit masyarakat ini dengan langkah-langkah yang nyata. Tentunya dengan juga didukung oleh kesadaran masyarakat di mana kesadaran itu hendaknya berangkat dari upaya pencerahan, bukan pemaksaan atau malah kekerasan. Mungkin ada di antara partai politik yang akan bertarung di Pemilu 2009 yang memiliki agenda seperti di atas jika menang nanti? Wallahu’alam.(rz)
sumber: www.eramuslim.com
No comments:
Post a Comment