Tuesday, July 27, 2010

Hadits Tentang Nisfu Sya'ban dan Dalil-Dalilnya

Salah satu anjuran Nabi Saw menjelang datangnya bulan suci Ramadhan adalah meningkatkan amal ibadah di bulan Rajab dan Sya'ban. Ritual nisfu sya'ban menjadi salah satu topik menarik yang perlu kita pahami bersama duduk perkaranya dari sudut pandang ilmiah. Semoga dua artikel di bawah ini bisa menambah wawasan ilmu kita. Amin...

Assalamualaikum Wr. Wb
Ustadz yang di rahmati Allah. Saya mau tanya tentang Nisfu sya''ban, adakah nash yang menjelaskan tentang hal ini, dan apa yang sering di lakukan oleh Rasullah SAW pada bulan sya''ban.
Jazakallah atas jawabannya
Wassalamualaikum Wr. Wb

Jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya kalau dilihat dari kaca mata para ahli hadits, praktek ibadah ritual yang dilakukan oleh sebagian saudara kita di malam ke-15bulan Sya''ban (nisfu sya''ban), tidak didukung dengan hadits yang mencapai derajat shahih kepada Rasulullah SAW. Namun bukan berarti apa yang dikerjakan itu otomatis menjadi haram atau kemungkaran yang harus diperangi. Sebab ternyata kita menemukan dalil-dalil yang meski tidak sampai derajat shahih, tetapi juga tidak sampai dhaif apalagi palsu. Hadits-hadits itu mencapai derajat hasan. Setidaknya, kesimpulan kita adalah bahwa derajat kekuatan tiap hadits itu memang jadi perbedaan pandangan kalangan ahli hadits.

Walhasil, perkara ini memang menjadi wilayah khilaf di kalangan ulama. Sebagian mentsabatkan hal itu namun sebagian tidak. Dan selama suatu masalah masih menjadi khilaf ulama, setidaknya kita tidak perlu langsung menghujat apa yang dilakukan oleh saudara kita bila ternyata tidak sama dengan apa yang kita yakini.

Dalil Tentang Keutamaan Bulan Sya''ban dan Khususnya Nisfu Sya''ban

Dalil-dalil yang diperselisihkan oleh para ulama tentang level keshahihannya itu antara lain adalah hadits-hadits berikut ini:
Sesungguhnya Allah ''Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu sya''ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani Kalb (salah satu kabilah yang punya banyak kambing). (HR At-Tabarani dan Ahmad)

Namun Al-Imam At-Tirmizy menyatakan bahwa riwayat ini didhaifkan oleh Al-Bukhari.

Selain hadits di atas, juga ada hadits lainnya yang meski tidak sampai derajat shahih, namun oleh para ulama diterima juga.

"Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada malam dan melakukan shalat serta memperlama sujud, sehingga aku menyangka beliau telah diambil. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai dari shalatnya, beliau berkata, "Wahai Asiyah, (atau Wahai Humaira''), apakah kamu menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan hakmu kepadamu?" Aku menjawab, "Tidak ya Rasulallah, namun Aku menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah karena sujud Anda lama sekali." Rasulullah SAW bersabda, "Tahukah kamu malam apa ini?" Aku menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Ini adalah malam nisfu sya''ban (pertengahan bulan sya''ban). Dan Allah muncul kepada hamba-hamba-Nya di malam nisfu sya''ban dan mengampuni orang yang minta ampun, mengasihi orang yang minta dikasihi, namun menunda orang yang hasud sebagaimana perilaku mereka." (HR Al-Baihaqi)

Al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini lewat jalur Al-''Alaa'' bin Al-Harits dan menyatakan bahwa hadits ini mursal jayyid. Hal itu karena Al-''Alaa'' tidak mendengar langsung dari Aisyah ra.

Ditambah lagi dengan satu hadits yang menyebutkan bahwa pada bulan Sya''ban amal-amal manusia dilaporkan ke langit. Namun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada malam nisfu sya''ban.

"Dari Usamah bin Zaid ra bahwa beliau bertanya kepada nabi SAW, "Saya tidak melihat Andaberpuasa (sunnah) lebih banyak dari bulan Sya''ban." Beliau menjawab, "Bulan sya''ban adalah bulan yang sering dilupakan orang dan terdapat di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada rabbul-alamin. Aku senang bila amalku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa." (HR An-Nasai)

Dari tiga hadits di atas, kita bisa menerima sebuah gambaran para para ahli hadits memang berbeda pendapat. Dan apakah kita bisa menerima sebuah riwayat yang dhaif, juga menjadi ajang perbedaan pendapat lagi. Sebab sebagian ulama membolehkan kita menggunakan hadits dhaif (asal tidak parah), khususnya untuk masalah fadhailul a''mal, bukan masalah aqidah asasiyah dan hukum halam dan haram.

Anggaplah kita meminjam pendapat yang menerima hadits-hadits di atas, maka kita akan mendapati bahwa memang ada kekhususan di bulan sya''ban khususnya malam nisfu sya''ban. Di antaranya adalah Allah SWT mengampuni dosa-dosa yang minta ampun. Dan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat di malam itu dan memperlama shalatnya. Dan bahwa bulan Sya''ban adalah bulan diangkatnya amal-amal manusia.

Namun semua dalil di atas belum sampai kepada bagaimana bentuk teknis untuk mengisi malam nisfu sya''ban itu.

Ritual Khusus Malam Nisfu Sya''ban

Yang menjadi pertanyaan, adakah anjuran untuk berkumpul di masjid-masjid membaca doa-doa khusus di malam itu? Dan sudahkah hal itu dilakukan di zaman nabi SAW? Ataukah ada ulama di masa lalu yang melakukannya di masjid-masjid sebagaimana yang sering kita saksikan sekarang ini?

Anjuran untuk berkumpul di malam nisfu sya''ban memang ada, namun dari segi dalilnya, apakah terkoneksi hingga Rasulullah SAW, para ulama umumnya menilai bahwa dalil-dalil itudhaif. Di antaranya hadits berikut ini:

"Dari Ali bin Abi Thalib secara marfu'' bahwa Rasululah SAW bersabda, "Bila datang malam nisfu sya''ban, maka bangunlah pada malamnya dan berpuasa lah siangnya. Sesungguhnya Allah SWT turunpada malam itu sejak terbenamnya matahari kelangit dunia dan berkata, "Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya. Adakah yang minta rizki, Aku akan memberinya riki.Adakah orang sakit, maka Aku akan menyembuhkannya, hingga terbit fajar. (HR Ibnu Majah dengan sanad yang dhaif)

Sedangkan pemandangan yang seperti yang kita lihat sekarang ini di mana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus di malam nisfu sya''ban di masjid-masjid, belum kita temui di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman shahabat. Kita baru menemukannya di zaman tabi''in, satu lapis generasi setelah generasi para shahabat.

Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi''dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya''ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan.

Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka. Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz, seperti Atho'' bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa hal itu bid''ah.

Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam nisfu sya''ban.

1. Bentuk Pertama
Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah pandangan Khalid bin Mi''dan, Luqman bin ''Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid.

Praktek sepertiini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau berkomentar tentang hal ini, "Amal seperti ini bukan bid''ah." Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya.

2. Bentuk kedua
Pendapat ini didukung oleh Al-Auza''i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak dianjurkan.

Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di malam nisfu sya''ban itu pun berkembang dua pendapat lagi.

Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab Syafi''i yang punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh pesantren di dunia Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin, arba''in an-nawawiyah, al-majmu''), punya pendapat menarik tentang ritual khusus di malam nisfu sya''ban.

Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid''ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid''ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid''ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah SAW.

Beliau mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitabIhya'' Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki.

Ustadz ''Athiyah Shaqr
Beliau adalah kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di masa lalu. Dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita melakukan shalat sunnah di malam nisfu sya''ban antara Maghri dan Isya'' demi untuk bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa, meminta ampun kepada Alla. Semua itu memang dianjurkan.

Namun lafadz doa panjang umur dan sejenisnya, semua itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah SAW.

Dr. Yusuf al-Qaradawi
Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya''ban bahwa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya''ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.

Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in).

Kesimpulan
Dan memang masalah ini adalah mahallun-khilaf'' sepajang zaman. Tidak akan ada penyelesaiannya, karena masing-masing pihak berangkat dengan ijtihad dan dalil masing-masing, di mana kita pun berhusnudzdzhan bahwa mereka punya niat yang baik serta mereka memiliki kapasitas dan otoritas dalam berijtihad.

Lepas dari keyakinan kita masing-masing yang merupakan hak kita untuk mengikutinya, namun hak kita dibatasi oleh adanya hak saudara kita dalam kebebasan berekspresi dalam ijtihad mereka, selama masih dalam koridor manhaj yang benar.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber: http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1187960149


Hukum Nisfu Sya'ban

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Ustadz YTH,
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan Nisfu Sya'ban ? Adakah Sirah yang melatar-belakangi istilah ini dan apakah amalan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam menyambutnya ?

Terima kasih, Jazakumullah......
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.
Ashriyati Ishak

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Ashriyati yang dimuliakan Allah

Nisfu Sya’ban berarti pertengahan bulan sya’ban. Adapun didalam sejarah kaum muslimin ada yang berpendapat bahwa pada saat itu terjadi pemindahan kiblat kaum muslimin dari baitul maqdis kearah masjidil haram, seperti yang diungkapkan Al Qurthubi didalam menafsirkan firman Allah swt :

سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Artinya : “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". (QS. Al Baqoroh : 142)

Al Qurthubi mengatakan bahwa telah terjadi perbedaan waktu tentang pemindahan kiblat setelah kedatangannya saw ke Madinah. Ada yang mengatakan bahwa pemindahan itu terjadi setelah 16 atau 17 bulan, sebagaimana disebutkan didalam (shahih) Bukhori. Sedangkan Daruquthni meriwayatkan dari al Barro yang mengatakan,”Kami melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw setelah kedatangannya ke Madinah selama 16 bulan menghadap Baitul Maqdis, lalu Allah swt mengetahui keinginan nabi-Nya, maka turunlah firman-Nya,”Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.”. Didalam riwayat ini disebutkan 16 bulan, tanpa ada keraguan tentangnya.

Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin al Musayyib bahwa pemindahan itu terjadi dua bulan sebelum peperangan badar. Ibrahim bin Ishaq mengatakan bahwa itu terjadi di bulan Rajab tahun ke-2 H.

Abu Hatim al Bistiy mengatakan bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Kedatangan Rasul saw ke Madinah adalah pada hari senin, di malam ke 12 dari bulan Rabi’ul Awal. Lalu Allah swt memerintahkannya untuk menghadap ke arah ka’bah pada hari selasa di pertengahan bulan sya’ban. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid I hal 554)

Kemudian apakah Nabi saw melakukan ibadah-ibadah tertentu didalam malam nisfu sya’ban ? terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw banyak melakukan puasa didalam bulan sya’ban, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Aisyah berkata,”Tidaklah aku melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan kecuali bulan Ramadhan. Dan aku menyaksikan bulan yang paling banyak beliau saw berpuasa (selain ramadhan, pen) adalah sya’ban. Beliau saw berpuasa (selama) bulan sya’ban kecuali hanya sedikit (hari saja yang beliau tidak berpuasa, pen).”

Adapun shalat malam maka sessungguhnya Rasulullah saw banyak melakukannya pada setiap bulan. Shalat malamnya pada pertengahan bulan sama dengan shalat malamnya pada malam-malam lainnya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah didalam Sunannya dengan sanad yang lemah,”Apabila malam nisfu sya’ban maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.

Sesungguhnya Allah swt turun hingga langit dunia pada saat tenggelam matahari dan mengatakan,”Ketahuilah wahai orang yang memohon ampunan maka Aku telah mengampuninya. Ketahuilah wahai orang yang meminta rezeki Aku berikan rezeki, ketahuilah wahai orang yang sedang terkena musibah maka Aku selamatkan, ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.”

Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan,”Walaupun hadits-hadits itu lemah namun bisa dipakai dalam hal keutamaan amal.” Itu semua dilakukan dengan sendiri-sendiri dan tidak dilakukan secara berjama’ah (bersama-sama).

Al Qasthalani menyebutkan didalam kitabnya “al Mawahib Liddiniyah” juz II hal 259 bahwa para tabi’in dari ahli Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul bersungguh-sungguh dengan ibadah pada malam nisfu sya’ban. Manusia kemudian mengikuti mereka dalam mengagungkan malam itu. Disebutkan pula bahwa yang sampai kepada mereka adalah berita-berita israiliyat. Tatkala hal ini tersebar maka terjadilah perselisihan di masyarakat dan diantara mereka ada yang menerimanya.

Ada juga para ulama yang mengingkari, yaitu para ulama dari Hijaz, seperti Atho’, Ibnu Abi Malikah serta para fuqoha Ahli Madinah sebagaimana dinukil dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ini adalah pendapat para ulama Maliki dan yang lainnya, mereka mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah.

Kemudian al Qasthalani mengatakan bahwa para ulama Syam telah berselisih tentang menghidupkan malam itu kedalam dua pendapat. Pertama : Dianjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah di masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir dan yang lainnya mengenakan pakaian terbaiknya, menggunakan wangi-wangian dan menghidupkan malamnya di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rohawaih. Dia mengatakan bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara berjama’ah tidaklah bid’ah, dinukil dari Harab al Karmaniy didalam kitab Masa’ilnya. Kedua : Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat, berdoa akan tetapi tidak dimakruhkan apabila seseorang melaksanakan shalat sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i seorang imam dan orang faqih dari Ahli Syam.

Tidak diketahui pendapat Imam Ahmad tentang malam nisfu sya’ban ini, terdapat dua riwayat darinya tentang anjuran melakukan shalat pada malam itu. Dua riwayat itu adalah tentang melakukan shalat di dua malam hari raya. Satu riwayat tidak menganjurkan untuk melakukannya dengan berjama’ah. Hal itu dikarenakan tidaklah berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Dan satu riwayat yang menganjurkannya berdasarkan perbuatan Abdurrahman bin Zaid al Aswad dan dia dari kalangan tabi’in.

Demikian pula didalam melakukan shalat dimalam nisfu sya’ban tidaklah sedikit pun berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Perbuatan ini berasal dari sekelompok tabi’in khususnya para fuqaha Ahli Syam. (Fatawa al Azhar juz X hal 31)

Sementara itu al Hafizh ibnu Rajab mengatakan bahwa perkataan ini adalah aneh dan lemah karena segala sesuatu yang tidak berasal dari dalil-dalil syar’i yang menyatakan bahwa hal itu disyariatkan maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menceritakannya didalam agama Allah baik dilakukan sendirian maupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” Juga dalil-dalil lain yang menunjukkan pelarangan bid’ah dan meminta agar waspada terhadapnya.

Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama memakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban, ini adalah pendapat para ulama Hanafi dan Maliki. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul untuk itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya, yaitu ‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.

Sementara itu al Auza’i berpendapat berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan shalat (menghidupkan malam nisfu sya’ban, pen) adalah makruh karena menghidupkan malam itu tidaklah berasal dari Rasul saw dan tidak juga dilakukan oleh seorang pun dari sahabatnya.

Sementara itu Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin ‘Amir serta Ishaq bin Rohawaih menganjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah.”

Dengan demikian diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan berbagai bentuk ibadah seperti shalat, berdzikir maupun berdoa kepada Allah swt yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Adapun apabila hal itu dilakukan dengan brjama’ah maka telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama seperti penjelasan diatas.

Hendaklah ketika seseorang menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan ibadah-ibadah diatas tetap semata-mata karena Allah dan tidak melakukannya dengan cara-cara yang tidak diperintahkan oleh Rasul-Nya saw. Janganlah seseorang melakukan shalat dimalam itu dengan niat panjang umur, bertambah rezeki dan yang lainnya karena hal ini tidak ada dasarnya akan tetapi niatkanlah semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Begitu pula dengan dzikir-dzikir dan doa-doa yang dipanjatkan hendaklah tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih didalam aqidah dan hukum.

Dan hendaklah setiap muslim menyikapi permasalahan ini dengan bijak tanpa harus menentang atau bahkan menyalahkan pendapat yang lainnya karena bagaimanapun permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama meskipun hanya dilakukan oleh para tabi’in.

Wallahu A’lam

Sumber : http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/nisfu-sya-ban.htm

No comments:

Post a Comment