Pemutaran rekaman suara yang diduga sebagai Anggodo (adik kandung Anggoro yang terlibat kasus dengan petinggi-petinggi KPK) dalam majelis sidang Mahkamah Konstitusi beberapa waktu yang lalu semakin membuka mata bangsa ini tentang "memprihatinkannya" sistem hukum dan penegakannya di negeri ini. Para cukong yang punya banyak uang sedemikian entengnya mempengaruhi keputusan hakim. Mafia peradilan memang bukan hal baru, tapi kasus terakhir ini begitu fenomenalnya hingga banyak nama-nama pejabat negara yang terlibat.
Saya jadi teringat tentang lambang keadilan yang disimbolkan dengan seorang wanita dengan mata tertutup selembar kain. Tangan kanannya memegang sebilah pedang tajam, sedangkan tangan kirinya menenteng neraca timbang. Tegap, teguh pendirian. Menutup mata berarti dalam menangani setiap kasus tidak berlaku tebang pilih, tapi semuanya sama di depan hukum. Tidak mudah terbujuk rayuan duniawi, iming-iming harta maupun tahta. Sedang pedang tajam merupakan simbol beratnya hukuman yang akan diberikan. Neraca melambangkan pengambilan keputusan yang benar-benar tepat, adil, penuh pertimbangan. Mengapa wanita? Kok bukan digambarkan sebagai sosok pria? Mungkin jawabnya adalah dalam setiap mengambil keputusan tidak semata-mata mengandalkan daya analisa akal pikiran namun juga melibatkan perasaan, sebagaimana umumnya seorang wanita. Wallahu a'lam...
Namun, sekarang semuanya telah berubah. Lambang keadilan itu tidak lagi tertutup matanya. Jelalatan ia tatap gemerlapnya harta dunia. Matanya tak lepas memelototi wajah tersangka, siapa tahu mungkin dia masih famili, masih kerabat, mungkin juga anak orang kaya atau bahkan kenalan yang dulu pernah berhutang budi membantunya. Naudzubillahi min dzalik. Mau jadi apa negeri ini...
No comments:
Post a Comment