Ali Lubis dan Rokok
Saat musim haji tahun 2003, ada seorang bapak yang satu regu dengan saya. Namanya Ali Lubis. Usianya saat itu sudah lebih dari 60 tahun. Beliau termasuk perokok berat. Seharinya, ia bisa menghabiskan 2 bungkus rokok bahkan lebih. Saat di tanah suci, ia sering kali terlihat memisahkan diri dari rombongan guna menikmati rokok yang dibawanya dari tanah air. Entah bagaimana ia membawanya, namun menurut pengakuannya, ia membawa lebih dari 1 slot.
Saat di Madinatul Hujjaj, ketika akan kembali ke Indonesia, ia menyampaikan kepada saya bahwa setelah di tanah air nanti, ia akan berhenti merokok. Ia sudah berkekad bahwa rokok terakhir yang akan dihisapnya adalah ketika di bandara saat kami hendak pulang nanti.
Betul apa yang dikatakannya. Setiba kami di bandara King Abdul Aziz, Jeddah, ia masih terlihat merokok. Ia terlihat sangat menikmati hisapan demi hisapan itu. “Ini adalah hisapan terakhir dari rokok terakhir saya” Demikian ujarnya sembari menghisap dalam-dalam kemudian mematikan rokoknya.
Semenjak itu, saya tidak pernah lagi melihatnya merokok.
Tiga tahun kemudian, ia datang ke kantor saya untuk menanyakan umrah. Setelah mengetahui persyaratan dan biaya, ia langsung mengambil formulir, mengisinya dan mengembalikannya saat itu juga. Sedangkan persyaratan lain yang belum dibawanya, akan diserahkan sesegera mungkin.
Saat ia kembali ke kantor saya untuk menyerahkan persyaratan yang belum lengkap ia pun bercerita bahwa biaya yang digunakannya untuk berangkat umrah kali ini adalah hasil dari tabungannya selama tiga tahun terakhir.
“Saat di Thawaf Wada’ dulu, tak henti-hentinya saya menangis. Rasanya berat meninggalkan semua yang ada di tanah suci itu. Kala itu saya berdoa, untuk dapat ke sana lagi.” Ujarnya kepada saya.
Rasa rindunya terhadap tanah suci telah membulatkan tekadnya untuk menabung agar dapat kembali ke tanah para nabi tersebut.
Pak Ali Lubis bukanlah orang yang kaya raya. Hidupnya sangat sederhana. Ia mengisi hari-harinya dengan menjual minyak tanah di depan rumahnya. Meski anak-anaknya sudah besar dan sudah mempunyai penghasilan sendiri, namun untuk biaya umrah kali ini, ia tidak lagi mengandalkan sokongan dari anak-anaknya sebagaimana saat ia menunaikan ibadah haji dulu.
“Ini uang rokok.” Katanya menjelaskan.
Rupanya, sejak ia memutuskan untuk tidak lagi merokok, ia mengumpulkan uang yang sejatinya dibelikan rokok itu sedikit demi sedikit. Setelah tiga tahun berselang, uang tersebut terkumpul dan dapat digunakan untuk menunaikan ibadah umrah.
Saya terpaku mendengar penjelasannya itu.
Setelah ia meninggalkan kantor, segera saya mengambil kalkulator dan mulai menghitung.
Anggaplah satu bungkus rokok seharga Rp. 5000,-. Sehari Pak Ali bisa menghabiskan 2 bungkus rokok. Artinya, ia butuh Rp. 10.000,- per hari untuk membeli rokok. Dengan demikian, ia harus mengeluarkan Rp. 300.000,- dalam sebulannya dan Rp. 3.600.000,- dalam setahun.
Jumlah ini jika dikumpulkan selama 3 tahun maka akan mencapai Rp. 10.800.000,-
Angka ini melebihi angka yang seharusnya dibayarkan untuk sekali perjalanan umrah di tahun 2006 yang lalu yaitu sekitar Rp. 9.000.000,-.
Saat hendak pulang ke rumah, dan melintasi di kerumunan tukang ojek yang ada di pojokan jalan, saya melihat mereka sedang asik menghisap barang yang mengandung nikotin itu. Ingin rasanya saya menyampaikan hitungan-hitungan tadi kepada mereka. Bahwa, jika uang yang dialokasikan untuk merokok tadi ditabung, maka mereka pun bisa ke tanah suci sebagaimana Pak Ali tadi.
Mereka bisa ke tanah suci dari uang rokok mereka. Anda juga!
-Tulisan ini saya dedikasikan untuk para perokok di manapun Anda berada-
taken from http://warnaislam.com/rubrik/taman/2009/3/25/1680/Ali_Lubis_dan_Rokok.htm
Jadi org yg menasehati pada perokok demi mendapatkan penghematan uang yang sedmikian besar itu ternyata tidak salah ya pak? Lalu gimana dengan kerabat2 saya yg bekerja di pabrik rokok klo konsumen rokok berkurang satu demi satu tiap hari maka lama kelamaan pabrik merugi , bisa2 gulung tikar. Tak mudah juga menyelesaikan persoalan ini secara tuntas. Banyak mata rantai yg terhubung yg tdk bisa diberi solusi yg merata.
ReplyDeleteya sptnya gk bisa radikal, tapi bertahap. sedikit demi sedikit. yg jelas jg perlu pendampingan dlm hal keimanan dan akidah. perlu ditanamkan keyakinan bahwa Alloh akan menolong hambanya yang mengambil jalan kebaikan dalam mencari nafkah yg halal, insyaAlloh
ReplyDelete