Tulisan ini hasil pikir-pikir beberapa waktu yang lalu. Lebih kuat lagi setelah dipicu dengan beberapa hasil diskusi yang saya ikuti di media. Begini, bangsa Indonesia sepertinya sudah kadung terjerumus ke lembah paham aliran yang cukup dalam selama sekian tahun sejak jaman kemerdekaan hingga sekarang. Kotak-isasi dan sekat-sekat pemisah antara kelompok satu dengan yang lain begitu terasa dan membuat kita merasa tidak nyaman sebagai sesama warga, bangsa dan rakyat dari negara yang bernama Indonesia. Kalau mau masuk ke kelompok A, pasti nanti akan berhadapan dengan kelompok B, dst. Ke depan, mestinya yang kita usung adalah semangat kebersamaan. Potensi-potensi kebaikan setiap kelompok mestinya bisa disinergikan, dalam rangka membangun Indonesia yang lebih bermartabat.
Namun, pembaca yang budiman, kenyataan yang kita lihat saat ini adalah sebaliknya. Kelompok satu dengan yang lainnya justru saling melemahkan, saling menjatuhkan, saling menjelek-jelekkan. Sampai lupa dengan kontribusi yang seharusnya bisa disumbangkan untuk bangsa. Naudzubillah. Dan parahnya, stigma itu semakin terasa menjelang hari H pesta demokrasi Pemilu bulan April 2009 nanti. Parpol, caleg, pengurus, anggota, simpatisan dan tidak ketinggalan, massa semuanya sama-sama dalam kondisi tinggi, panas. Awas nyetrum! Gara-gara hal sepele bisa panjang dan runyam urusannya :)
Salah satu tema yang selalu hangat adalah dikotomi nasionalis dan religius. Seolah-olah dua hal tersebut adalah sangat berbeda, bertolak belakang dan tidak mungkin disatukan. Benarkah? Saya pribadi tidak sepakat dengan dikotomi tersebut. Sebagai seorang muslim, yang saya tahu agama Islam adalah ajaran universal, integral, melingkupi segala aspek kehidupan, salah satunya adalah nasionalis atau cinta tanah air, singkatnya. Mungkin terbawa dengan orde lama dulu, ketika parpol itu cuma ada 3, golkar milik birokrat, pdi milik nasionalis dan ppp milik para santri. Yang kemudian masih terekam sampai saat ini. Fakta di lapangan sekarang menunjukkan bahwa parpol yang menyatakan diri nasionalis, eh justru sepak terjangnya jauh dari sikap cinta tanah air. Namun terjadi juga sebaliknya, parpol berbasis religius eh njlekethek tingkah lakunya kok ngisin-ngisini :(
Yang justru menarik adalah fenomena parpol yang mampu melakukan simbiosis. Parpol berbasis religius tapi manuver-manuvernya tidak melupakan jiwa dan semangat nasionalis. Cinta tanah air dengan menolak korupsi, peduli dengan setiap permasalahan di masyarakat kapanpun (tidak hanya di waktu pemilu) serta profesional dalam kerjanya. Itu yang luar biasa. Wujud dari integritas keutuhan nilai-nilai Islam dalam keyakinannya. Dengan tetap menjaga bahwa semuanya dalam rangka beribadah kepada Alloh SWT.
Pun ke depan, kita tidak perlu dipusingkan lagi dengan aliran warna. Klo merah pasti nasionalis, hijau agamis, kuning birokrat, dst. Warna adalah milik semuanya. Baik semuanya. Tinggal sekarang kita menilai track record. Jangan-jangan warna-warna itu hanya kulit luar yang bisa berubah dan berganti setiap saat? Pastikan teliti sebelum membeli. Jangan sampai hanya gara-gara warna masa depan Indonesia jadi semakin suram dan tertunda kejayaannya. Mari kita dukung sama-sama pemimpin yang bersih dan benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat :)
Hidup Prabowo...upss no campaign here
ReplyDeletekita doakan pak prabowo bisa menjadi pemimpin yg amanah. btw siapapun calon presidennya, PKS tetap partai pilihannya :)
ReplyDelete