Wednesday, August 4, 2010

Rencana Redenominasi Rupiah oleh Bank Indonesia

[ Rabu, 04 Agustus 2010 ]
Tahun Depan BI Sosialisasi Redenominasi Rupiah
Kajian BI, Redenominasi Rupiah Dimulai 2013

JAKARTA - Rencana redenominasi alias pemotongan nilai mata uang (tanpa mengubah nilai tukarnya) yang dilontarkan Bank Indonesia (BI) terus menggelinding. Bahkan, bank sentral sudah menyusun tahap-tahap untuk memuluskan rencana tersebut. Pjs Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, mulai tahun depan BI menyosialisasikan redenominasi rupiah ke seluruh lapisan masyarakat.

Sosialisasi ini diperkirakan membutuhkan waktu dua tahun hingga 2012. Sosialisasi juga bakal menyentuh aspek akuntansi atau pencatatan di seluruh instansi pemerintah maupun swasta. ''Setelah itu, mulai 2013, redenominasi bisa dilakukan," ujarnya di Kantor BI kemarin (3/8).

Darmin menyatakan, masyarakat tidak perlu resah dengan rencana redenominasi. Sebab, redenominasi hanya menyederhanakan pecahan uang rupiah tanpa mengurangi nilainya. "Redenominasi ini terminologi yang tidak terlalu mudah buat lidah kita. Tetapi, pengertiannya bukan sanering atau pemotongan nilai uang," tegasnya.

Menurut Darmin, redenominasi hanya merupakan penyederhanaan penyebutan satuan harga maupun nilai mata uang. Artinya, pecahan mata uang disederhanakan tanpa mengurangi nilai uang tersebut. "Misalnya, seribu rupiah (Rp 1.000) akan menjadi satu rupiah (Rp 1), sedangkan satu juta rupiah (Rp 1.000.000) menjadi seribu rupiah (Rp 1.000). Tapi, nilai uang sebelum dan sesudah redenominasi sama," jelasnya.

Karena itu, setelah melalui tahap sosialisasi pada 2011-2012, pada 2013-2015 ada masa transisi. Pada saat itu BI mengedarkan uang baru hasil redenominasi. Karena itu, pada periode itu beredar dua jenis uang, yakni uang lama seperti yang beredar saat ini dan uang baru.

Dengan redenominasi tiga angka nol, BI akan mengedarkan uang baru Rp 1 yang nilainya sama dengan uang lama Rp 1.000. Masyarakat nanti bisa pergi ke bank untuk menukarkan uang lama Rp 1.000 yang diganti dengan uang baru Rp 1. Jika menukarkan uang lama Rp 100.000 diganti dengan uang Rp 100. Nilai keduanya sama. Untuk uang baru, BI berencana menuliskan kata "UANG BARU" di kertas uang. Untuk pecahan kecil, akan ada uang baru berupa koin atau logam dengan pecahan sen.

Lalu, bagaimana jika ingin membeli barang? Pada 2013-2015 sebuah barang akan diberi dua label harga. Misalnya, sebuah baju yang saat ini seharga Rp 100.000 akan ditempeli label tambahan "Harga dengan Uang Baru Rp 100". Jadi, jika seseorang membeli baju tersebut dengan uang lama, dia harus membayar senilai Rp 100.000 (seratus ribu rupiah). Namun, jika membayar dengan uang baru, dia membayar senilai Rp 100.

Contoh lain. Sebuah televisi seharga Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) akan ditempeli label "Harga dengan Uang Baru Rp 1.000". Untuk alasan kepraktisan, penjual televisi tersebut bisa saja tidak menempelkan label harga baru, tapi cukup mengatakan, "Jika membeli televisi ini dengan uang lama, Anda harus membayar satu juta rupiah (Rp 1.000.000). Tapi, jika Anda membayar dengan uang baru, harganya seribu rupiah (Rp 1.000)."

Jadi, jika pembeli tersebut masih memegang uang lama, dia bisa membayar dengan sepuluh lembar Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) seperti yang beredar saat ini. Tapi, jika pembeli itu sudah menukarkan uangnya atau sudah memiliki uang baru, dia bisa membayar dengan sepuluh lembar uang baru Rp 100 (seratus rupiah).

Demikian pula dengan gaji. Jika seseorang bergaji Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) per bulan, orang tersebut akan menerima gaji dalam uang lama Rp 1.000.000. Namun, jika dibayar dengan uang baru, dia akan menerima Rp 1.000. Nilai keduanya sama sehingga tidak merugikan pihak mana pun.

Darmin melanjutkan, masa transisi tiga tahun mulai 2013 hingga 2015 diperkirakan cukup untuk memahamkan dan membiasakan masyarakat maupun seluruh pelaku usaha, termasuk perbankan, mengenai redenominasi uang lama dengan uang baru. "Karena itu, pada 2016 hingga 2018, mulai masuk tahap berikutnya. Pada periode ini BI menarik uang lama secara berangsur-angsur. Pada akhir 2018, uang lama yang saat ini beredar ditargetkan tidak ada lagi di masyarakat," terangnya.

Selanjutnya, mulai 2019 kata-kata "UANG BARU" yang ada di uang baru dihilangkan. Dengan demikian, Indonesia akan memiliki mata uang baru yang angkanya lebih kecil. Menurut Darmin, meski terdengar agak ribet dan butuh waktu lama, redenominasi sangat bermanfaat untuk menyederhanakan pembayaran. Sebab, saat ini pecahan Rp 100.000 merupakan pecahan uang terbesar kedua di dunia, di bawah pecahan 500.000 dong Vietnam dalam satu lembar.

Darmin menyebut, pecahan mata uang yang terlalu besar kurang efisien karena membuat proses pembayaran dan transaksi tunai menjadi lebih susah. "Bisa dibayangkan kalau Anda melakukan pembayaran puluhan juta. Anda harus membawa tas, dan itu membuat rasa tidak aman," katanya. "Selain itu, transaksi dengan nilai uang yang terlalu banyak nol juga menyulitkan," imbuhnya.

Karena itu, jika nanti BI menerbitkan uang baru Rp 1.000 yang nilainya sama dengan uang lama Rp 1.000.000, untuk membayar barang seharga Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), cukup menggunakan sepuluh lembar uang baru Rp 1.000. "Turki dan Rumania sukses melakukan redenominasi. Kita juga bisa," ucapnya.

Sementara itu, para pelaku usaha berharap ikut dilibatkan dalam proses pembahasan redenominasi sebelum diberlakukan. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto mengatakan, baik positif maupun negatif, pelaku usaha pada akhirnya akan merasakan dampak redenominasi.

"Jadi, bukan otoritas moneter semata karena dunia usaha dan pelaku bisnis akan merasakan dampaknya," ujarnya kemarin. Pengusaha, kata Djimanto, sampai saat ini belum me­nge­tahui secara pasti apa sebenarnya tujuan redenominasi.

Seandainya memang bertujuan membuat rupiah semakin kuat, langkah itu akan mengancam aktivitas ekspor. "Ekspor akan kurang bergairah. Sebaliknya, orang akan lebih senang impor karena lebih menguntungkan," imbuhnya. Namun, jika tidak ada dampak signifikan, kata Djimanto, sebaiknya rupiah tetap apa adanya seperti sekarang. "Biarkan begini saja, kan sudah baik," ucapnya.

Kepala Ekonom Grup Bank Mandiri Mirza Adityas­wara mengatakan, hal tersebut belum per­­lu dilakukan. ''Penyederhanaan rupiah cuma berarti mengubah secara psikologis agar rupiah tidak lagi terlihat terlalu murah seperti sekarang. Padahal, itu tidak berarti apa-apa,'' ka­tanya.

''Daripada memikirkan hal yang tak berarti, lebih baik memikirkan masalah inflasi dan pembiayaan terhadap pembangunan infrastruktur yang terkendala undisbursed loan (pinjaman yang belum dicairkan perbankan, Red),'' jelasnya.

Pengamat valas Farial Anwar juga khawatir kebijakan tersebut mengganggu pergerakan rupiah di masyarakat jika tak dilakukan dalam waktu yang tepat. ''Yang jelas, perlu periode peralihan panjang karena ada sebagian masyarakat yang ku­rang terdidik,'' katanya.

Dia berharap kebijakan redenominasi akan menstabilkan pergerakan rupiah atau tak terlalu folatile. Ini karena kenaikan dan penurunan rupiah juga tidak terlalu besar. ''Selain itu, mengurangi biaya pengeluaran pemerintah dalam mencetak uang,'' tegasnya.

Secara terpisah, anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Bambang Soesatyo mengatakan, inisiatif Darmin mewacanakan redenominasi rupiah saat ini sangat berbahaya. Langkah itu bisa disalahtafsirkan sebagai sane­ring atau pemotongan nilai uang. Bukan tidak mungkin de­­posan besar akan terdorong untuk tidak percaya lagi terhadap valuta rupiah.

''Sebelum masyarakat dibuat kalang kabut, saya berharap DPR dan presiden memerintahkan Darmin berhenti mewacanakan redenominasi rupiah,'' kata Bambang kemarin. (owi/gen/luq/pri/c2/iro)

Sumber : http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=148711

1 comment:

  1. bagaimana dengan uang Rp 100 dan Rp 500 yang lama ....
    bagaiman jika ada potongan Rp 575 ?
    nilai ini kecil tapi, saya kira 5 tahun kedepan bisa jadi senasib dengan Rp 50,- karena pola pikir masyarakat berubah nilai terkecil adalah Rp 1,- ...

    ReplyDelete