Pembaca yang budiman,
Di penghujung abad 20 kemarin, konsepsi kecerdasan manusia mulai bergeser dengan pesatnya. Sangat lekat di benak kita dulu sewaktu masih sekolah bahwa untuk mengukur cerdas tidaknya seseorang itu cukup dilihat dari IQ-nya. Namun, kenyataannya tidak semua teman kita yang dulu IQ-nya bagus-bagus atau sering memperoleh juara kelas telah menjadi orang sukses sekarang. Memang ada yang jadi orang besar, tetapi itupun tidak semuanya dan ada juga yang hidupnya biasa-biasa saja atau bahkan malah serba kekurangan dan memprihatinkan.
IQ tinggi ternyata bukan jaminan untuk bisa hidup sukses, bahagia. Maka para ilmuwan dari serangkaian uji cobanya memunculkan konsep kecerdasan lanjutan yaitu EQ (Emotional Quotient) atau Kecerdasan Emosi. Ilustrasinya, seorang peneliti yang sudah mentok gelar akademisnya tetapi ternyata tidak mampu menjalin komunikasi dan hubungan emosional secara simpatik dan empatik dengan para kolega, alamat masa kerjanya tidak akan panjang karena tidak ada yang bersedia menjadi partnernya. Atau misal seorang pimpinan maupun bawahan yang kurang pandai menata emosinya ya kurang lebih akan sama hasilnya, suasana kerja menjadi sangat tidak nyaman. Tinggal menunggu waktu untuk "meledak".
Pembaca yang super (meminjam istilah dari Om Mario Teguh),
Apakah IQ dan EQ sudah final? Ternyata belum. Apa buktinya? Mari kita tengok sejarah dan fakta di sekitar kita. Kita setidaknya sudah kenal dengan sosok bernama Hitler, Musolini. Mereka tokoh-tokoh besar, ulung, cerdas otak dan emosinya. Orasinya terkenal sebagai pembakar semangat, sangat menginspirasi orang lain. Namun apa hasilnya? Ribuan nyawa dan harta benda melayang sebagai korban perang dan invasi militer. Contoh lainnya adalah para koruptor, mafia peradilan, oknum tindak kejahatan kerah putih, makelar-makelar kasus. Kecerdikan akal dan emosi mereka digunakan untuk mengakali orang lain untuk kesenangan pribadi. Mereka ahli menangkap peluang dan jago dalam negosiasi dan komunikasi. Namun, jutaan orang tak bersalah jadi korbannya. Uang yang seharusnya untuk mereka yang kurang mampu malah dijadikan tabungan untuk kroni serta anak cucu 7 turunan. Maka, cukupkah IQ dan EQ saja sebagai tolok ukur kesuksesan seseorang?
SQ (Spiritual Quotient) atau kecerdasan jiwa, melengkapi dua konsep kecerdasan yang telah ada. Orang akan sukses ketika dia telah menemukan makna hidup yang sesungguhnya. Orang akan sukses setelah dia mampu memahami arti kebahagiaan yang hakiki bersama-sama dengan orang yang di sekelilingnya. Dan acara training ESQ nanti adalah dalam rangka untuk mengeksplorasi itu semua. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari kegiatan tersebut demi masa depan yang lebih baik.
So, sempatkan dan luangkan waktu untuk acara spesial ini. Sabtu, 3 Juli 2010 di ruang pertemuan Fakultas Pertanian UPN "Veteran" Jawa Timur mulai pagi hingga sore hari. Pendaftaran di sekretariat UKKI Masjid Istiqomah setiap jam kerja. Cukup singkat dan murah untuk ukuran investasi jangka panjang. Selamat menempuh "hidup baru" :)
wah ndak sempat ikut pak...... pengen sekali ikut seperti itu di kampus tapi selalu bentrok dengan kegiatan lain.
ReplyDeletelow ada lagi kabari ya pak.
sukron.