[caption id="attachment_23" align="alignleft" width="202" caption="Pakde Karwo dan Gus Ipul"][/caption]
Sosok Soekarwo: Utamakan Manfaat.
Baju putih. Kopiah hitam. Brengos tebal. Murah senyum. Nama bekennya Pakde Karwo, lengkapnya Soekarwo. “Lho, biasanya kan kalian ini wartawan yang suka menyebut saya begitu?” sahut calon Gubernur Jawa Timur ini saat ditanya asal usul nama bekennya. Dia lalu tertawa. Kelopak matanya sampai sipit.
Soekarwo dan keluarga tinggal di Jl Kertajaya Indah Timur, Surabaya. Arsitektur rumahnya cenderung ke Eropa modern tapi perabotnya Eropa klasik. Pada dinding berwallpaper, terpajang foto Soekarwo dan istrinya, Nina Kirana sedang di Australia. Anak lelak mereka, Ferdian Timur Satya Graha, memang ngangsu kawruh bisnis internasional di Universitas Deakin, Melbourne.
Like father like son. Anaknya gandrung ilmu pengetahuan sebab bapaknya rakus belajar. Dan, perpustakaan pribadi adalah salah satu indikator kualitas intelektual seseorang. “Hobi saya dua, olahraga dan baca buku. Makanya, saya suka koleksi buku,” katanya kepada Aji Bramastra dari Harian Surya.
Ia mengajak ke perpustakaan keluarga. Sambil berjalan, Soekarwo bicara soal hobinya yang hilang. “Dulu, sebelum jadi Sekda, saya selalu sempatkan main badminton sama teman-teman. Setelah itu, apalagi pas maju pilgub ini, jadi tidak ada waktu lagi. Paling cuma jogging pagi sama keluarga,” katanya. Sebelum masuk perpustakaan, ada meja makan dengan enam tempat duduk. Tak banyak yang tahu, keputusan maju tidaknya Soekarwo berawal dari meja makan ini. Layaknya di meja parlemen, ada voting di meja makan itu.
“Saya bilang ke istri dan anak-anak. Ada yang mencalonkan bapak jadi gubernur. Selama ini bapak sudah usaha mengumpulkan cukup bekal untuk kalian. Sekarang saatnya bapak mengabdikan hidup untuk masyarakat,” ujar Soekarwo. Matanya melirik meja makan. Semua mengangguk. “Anak saya yang paling kecil sempat mengajukan syarat. Bila nanti saya terpilih, harus sebisa mungkin menyisakan waktu untuk keluarga,” kenang Soekarwo.
Pada dinding di lantai dua, terpajang lukisan ekpresionis bikinan seniman asal Jember, Sujiwo Tejo. Coretan kuas menggambarkan pria berkopiah dan brengos. Ada sosok Semar di atas figur pria itu. Semar niscaya pengabdi masyarakat yang bijak. Ini mungkin personifikasi Soekarwo tapi dia sendiri mengaku tak tahu maknanya. Ia mengaku lukisan itu tiba-tiba dikirim Sujiwo Tejo ke rumahnya. “Nggak tahu kenapa. Jangankan mbayar, pesan saja saya tidak pernah,” jawab Soekarwo. “Yang buat hanya pesan, nanti kalau ada pameran sewaktu-waktu saya pinjam.” Yang unik, Soekarwo mengaku belum pernah sekalipun bertemu dengan Sujiwo Tejo. “Katanya, dia lihat saya dari baliho,” ucapnya tertawa. Tak lama, Nina Kirana bergabung.
Obrolan jadi tambah gayeng. Sebagaimana Soekarwo, Nina juga dari Madiun. Dialek Jawanya halus. Dia ikut masuk perpustakaan. Ada tiga almari di sana, salah satunya khusus untuk menyimpan buku terbitan luar negeri. Dari kategori buku-bukunya, terlihat minat Soekarwo merentang lebar. Mulai soal agama, hukum, ekonomi, geografi, hingga pengetahuan ringan seperti Einstein Aja Tidak Tahu. “Tapi kebanyakan memang buku hukum, sesuai disiplin ilmu saya,” ujarnya. Soekarwo memang melulu belajar hukum dari bangku kuliah sejak S1 hingga S3. “Bapak itu kalau baca buku cepat sekali,” Nina menyahut.
Di tengah, sebuah meja tanpa kaki dan beberapa bantal disiapkan untuk membaca sambil lesehan. Nyaman sekali. Tapi tidak semua buku koleksinya asli. Fotokopian pun ada. “Buku itu memang tidak diperjualbelikan karena buku ajar para dosen. Saking kepingin memilikinya, saya akhirnya harus puas fotokopi,” terang Soekarwo. Dia lalu mencari-cari sebuah buku. “Nah, ini dia buku favorit saya.”
Buku bersampul kuning muda itu berjudul Fragment on Government, karangan pakar hukum pemerintahan asal Inggris, Jeremy Bentham. “Banyak pakar bilang, hukum itu bersifat normatif yang hanya berlaku untuk kepastian dan keadilan. Nah, kalau saya lebih cenderung ke hukum sosiologisnya Bentham, di mana azas manfaat menjadi lebih penting daripada keadilan,” Soekarwo meringkas Bentham. Dia lalu kasih contoh. “Menyelesaikan sesuatu tidak akan steril dari masalah lain. Misal, menggusur rumah dari tepi kali. Setelah digusur, daerah memang jadi bersih. Namun, kita harus memikirkan bagaimana kelanjutan nasib pemilik rumah,” terangnya.
Ada satu buku lagi yang disukainya; Grameen Bank karya Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006 asal Bangladesh. Buku Grameen Bank diterjemahkan menjadi Bank Kaum Miskin, April tahun lalu.
Yunus adalah bankir yang mengembangkan konsep kredit mikro, pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin yang tidak mampu meminjam dari bank umum. “Ini bisa dicontoh pembangunan usaha mandiri masyarakat,” ujar Soekarwo.
Anak PM, Petani Makmur
Soekarwo kecil dihabiskan di Palur, sebuah desa agraris yang terletak tujuh kilometer dari jalan raya Madiun-Ponorogo. “Saya ini anak desa yang lahir di tengah kehidupan agraris,” katanya. Bapak dan ibunya tergolong PM, petani makmur. Mereka punya lahan luas yang lebih dari cukup untuk membiayai studi anaknya. Soekarwo remaja belajar di SMP Negeri 2 Ponorogo dan SMAK Sosial Madiun. Kuliahnya jurusan ilmu hukum di Universitas Airlangga sejak 1970. Saat kuliah itulah, dia kesengsem pada Nina Kirana. “Dulu dikenalkan teman. Mas Karwo sudah kuliah, saya masih SMA. Saya memang suka karena orangnya tidak pernah jaga image,” kenang Nina, tertawa. Sampai sekarang pun, kebiasaan selama pacaran masih terbawa. “Saya masih manggil Bapak dengan Mas Karwo, dia juga masih nyebut saya Dik Nin,” ujar Nina. “Biar suasananya masih sama seperti pacaran dulu, meskipun ini sudah hampir punya cucu.”
Saat disinggung mengenai kemungkinan terburuk dirinya gagal dalam pilgub kali ini, Soekarwo menghela napas agak panjang. Tanda bahwa ia berpikir sejenak. Namun, ia terlihat tidak marah dengan pertanyaan sensitif tersebut. “Pesan ayah saya dulu hanya satu. Berbuatlah yang terbaik, lalu kembalikan hasilnya pada Allah,” ujar Soekarwo. k3
****
Putranya Pembersih Ikan, Putrinya Pramusaji
Jabatan Sekretaris Pemprov Jatim adalah puncak karir bagi semua ambtenaar se-Jatim. Soekarwo menduduki jabatan itu selama lima tahun sejak 2003. Sebelumnya, dia identik dengan ‘pendapatan’. Mulai jadi Kepala Cabang Dinas Pendapatan di Surabaya, Kepala Sub Dinas Pendapatan Pemprov Jatim sampai Kepala Dinas Pendapatan Pemprov Jatim. Pendek kata, kalau mau kongkalikong, tak sulit bagi dia memasukkan anak-anaknya sebagai ambtenaar atawa pegawai negeri sipil.
Namun, Soekarwo memilih cara lain. Dia mempersilakan anak pertamanya, Ferdian Timur Satya Graha, 26, ‘mengasingkan’ diri ke Kalimantan. Di sana dia bisnis perumahan bersama rekan-rekan kuliahnya. “Bapak pesan, kalau mau jadi pengusaha, usahakan memilih bidang yang tidak bersinggungan dengan bapak,” ujar Ferdi, panggilan akrab Ferdian. Ia mengaku, status ayahnya sebagai pejabat di provinsi membuatnya sungkan untuk mengikuti tes calon PNS. “Ya, memang serba salah. Maunya ikut tes, tapi nanti ada suara miring. Kadang saya merasa tidak adil, bagaimana bila saya memang punya kemampuan dan bisa lulus tes tanpa bantuan ’surat sakti’?” ujarnya.
Sebenarnya, anak-anak Soekarwo tergolong sukses dalam pendidikan. Ferdi misalnya, memang sempat keluar dari Teknik Industri Ubaya karena merasa tak cocok dengan dunia teknik. Namun, ia bangkit dan mampu lulus S1 dan S2 sekaligus hanya dalam waktu lima tahun. Kedua gelar itu ia raih di Universitas Deakin, Melbourne, Australia. Sekali lagi, kearifan Soekarwo dalam membesarkan anak-anaknya diterapkan disini. Pejabat sekelas Soekarwo sebenarnya lebih dari mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri. Namun, ia tidak ingin anak-anaknya manja dengan pasokan uang berlimpah.
“Selama di sana, bapak hanya memberi saya uang sekolah. Tapi untuk biaya hidup, saya harus kerja,” ujar Ferdi. Bersama adiknya yang kuliah di kampus sama, Ferdi harus bekerja paruh waktu.
Status sebagai anak pejabat tak membuatnya rikuh bekerja sebagai tukang membersihkan ikan di Victoria Market, pasar tradisional di Melbourne. Sementara Mita bekerja sebagai waitress alias pramusaji. “Dulu, pas dapat gaji pertama, sebagian uang itu dikirimkan anak-anak ke saya. Kata Mita, jangan lihat jumlahnya, tapi niatnya. Saya sampai menangis,” kenang Nina Kirana, istri Soekarwo. Tapi hal ini dianggap Soekarwo sebagai sesuatu yang wajar. “Yo ngono iku urip, le. Ini untuk kebaikan kalian juga,” kata Ferdi menirukan komentar ayahnya. Apa yang membuat keluarga kagum pada sosok Soekarwo? “Ayah sangat hebat dalam memotivasi kami,” ujar Ferdi. Soekarwo memang dipandang sebagai sosok yang menyenangkan di rumah. Selain piawai menghadirkan suasana ceria di rumah, Soekarwo adalah ayah yang penyabar. “Kalau ayah ada masalah, hanya terlihat di raut wajahnya. Tapi tidak pernah terbawa pada sikapnya,” tambahnya. Ferdi juga mengaku sangat jarang melihat Soekarwo marah. “Seingat saya ayah marah hanya sekali. Itu dulu sekali, saat saya terkunci sama adik di bagasi mobil,” kenang Ferdi sambil tertawa. “Ayah marah kalau adik-adik pulang kemalaman. Tapi itu pun hanya menegur mereka untuk segera pulang.”
Selama kampanye, Ferdi tergolong paling intens membantu Soekarwo. Ketika masih di Australia, ia hanya bisa membantu dari jauh dengan membuatkan situs friendster. “Kelihatannya sepele, tapi lewat friendster kami bisa mendekatkan diri ke para pemilih pemula,” terangnya. Saat ia pulang ke Indonesia, giliran ia menemani ayahnya berkeliling dalam setiap agenda kampanye. “Yang paling berkesan ketika di Madura. Melihat banyaknya masyarakat yang ingin salaman sama ayah. Jujur, rasanya hati ini menangis lihat ayah dielu-elukan, karena biasanya saya hanya lihat di koran,” ujar Ferdi. k3 (Surya, 22 Juli 2008)
Saifullah Yusuf Dekat Kiai, Dekat Rakyat
Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dikenal rajin sowan kepada para kiai. Itu dilakukannya sejak dulu sampai sekarang. Tapi kepada warga biasa pun, dia juga mudah akrab. Pada 2004, sebagai Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Gus Ipul hendak bersilaturahmi dengan sejumlah kiai di sebuah pondok pesantren kawasan Pacet, Mojokerto.Ada banyak orang yang disalaminya di halaman pondok. Saat hendak masuk ruang pertemuan, tiba-tiba Gus Ipul berbalik. “Rokok-e mana?” tanya Gus Ipul kepada seorang pemuda. Yang ditanya segara menyodorkan sebungkus rokok. Gus Ipul mengambil dua batang rokok sekaligus, bukan cuma satu selazimnya orang minta rokok. Dan, justru dua batang rokok itu yang dikembalikan lagi kepada si pemuda tadi.
Sebungkus rokok yang masih banyak isinya malah dia kantongi. “Tak gawa sik rokokmu, yo,” kata Gus Ipul. Irfan, pemuda dari Kemlagi, Mojokerto itu tertawa mengenang perkenalan pertamanya dengan Gus Ipul. Irfan jadi terkesan pada kelihaian Gus Ipul menjalin keakraban dengan orang yang baru dikenalnya.
Selama masa kampanye, dia juga sering menggunakan pendekatan spontan. Sewaktu dia berjalan-jalan di Jl Doho, jantung Kota Kediri, 15 Juli lalu, ada seorang ibu yang senang melihatnya.
Bu Retno, warga Jl Doho, sampai berlari keluar rumah padahal masih mengenakan daster dengan rambut digelung tak rapi. Perempuan Tionghoa itu bahkan berlarian sambil terus bicara lewat telepon portable di telinga kanannya. “Pak, pak, ini ada Gus Ipul,” teriak Bu Retno kepada lawan bicaranya di telepon ketika melihat Gus Ipul mendekat. “Ini saya lagi telepon suami,” ujar Bu Retno sembari menepuk-tepuk lengan Gus Ipul. Telepon pun berpindah ke tangan Gus Ipul. Spontan saja Gus Ipul berbicara dengan suami Bu Retno di ujung telepon.
“Pak, perkenalkan. Saya Gus Ipul, calon wakil gubernur, ada salam dari Pakde Karwo. Mohon pangestunya ya,” ujar Gus Ipul. Melihat itu, Bu Retno tak bisa menahan tawanya. Tubuhnya bergetar karena tawa, tangannya tak berhenti menepuk-tepuk lengan Gus Ipul. Ibu yang sudah berumur ini lantas menggamit tangan Gus Ipul. “Gus Ipul itu orange supel yo? Kok sudah seperti kenal lama,” katanya, riang sekali. Padahal, dalam anggapan Bu Retno, Gus Ipul tergolong orang penting dan terkenal.
Lain lagi ketika dia nyelonong ke sebuah Apotik Doho Sehat di Kediri. Dia menyalami tiga karyawati di sana. Salah satunya langsung meminta baju seragam KarSa, akronim Soekarwo-Saifullah, seperti yang dipakai Gus Ipul. “Mestinya kasih baju yang seperti ini,” si karyawati iseng sembari menunjuk baju yang dipakai Gus Ipul.
Lagi-lagi, Gus Ipul menanggapi spontan. “Ijol, yo?” katanya, membuka kancing paling atas bajunya seolah-olah hendak membuka baju betulan. Ketiga karyawati itu tertawa, pelanggan apotik ikut ngakak.
Gus Ipul memang humoris dan luwes bergaul dengan semua golongan. Mantan anggota DPR RI dari PDIP, lalu masuk PKB dan tak lama kemudian menjabat Sekjen DPP PKB ini mirip pamannya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Ipul muda pernah bercita-cita menjadi guru madrasah. Tetapi dia garis hidupnya ternyata di luar ‘kendali’. Meski begitu, Gus Ipul memandang semua pekerjaan mulia. “Wak Modin itu pun mulia, jabatan apa saja mulia,” katanya kepada Imam Hidayat dari Harian Surya.
Sebagai cucu pendiri NU dan mantan menteri, Gus Ipul tidak merasa rendah ketika dijagokan sebagai cawagub berpasangan dengan cagub Soekarwo. Baginya, esensinya bukan jabatan tetapi kepatuhan pada kiai, serta keinginannya berkontribusi bagi tanah kelahirannya.
Para kiai yang meminta saya untuk maju. Apalagi bagi saya jabatan wagub tak bisa disandingkan dengan menteri. Wagub itu dipilih oleh rakyat,” kata lelaki kelahiran Pasuruan, 28 Agustus 1964 ini. Ia pun melihat banyak hal saat berkeliling Jatim. Dia lebih banyak mendengar langsung keluhan rakyat. Maklum, Gus Ipul juga cukup lama jadi wartawan. “Saya ini orangnya simple. Saya lebih senang yang spontanitas. Karena spontanitas ini saya bisa lebih improvisasi diri,” kata pengagum Wahid Hasyim, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dan Ali Syari’ati ini.
Sebelum dan selama kampanye, Gus Ipul memahami rakyat sedang susah dan prihatin karena harga barang-barang pokok naik. “Keinginan mereka sederhana, bagaimana harga barang-barang pokok ini bisa turun. Ya tidak turun drastis, tetapi bisa terjangkau,” imbuhnya. Ia pun menyimpulkan, solusinya meningkatkan daya beli masyarakat. Salah satunya membuka lapangan kerja dengan model padat karya. “Padat karya di desa-desa harus diperbesar. Kita berikan uangnya ke desa, sehingga desalah yang menentukan apakah uang ini untuk pembangunan jalan, air bersih, atau permodalan atau apa-lah yang mereka lebih tahu kebutuhannya. Pemprov hanya akan mengawasi apakah uang itu dipergunakan dengan benar atau tidak,” bebernya.
Tetapi, di tengah keprihatinan ini, masyarakat masih berharap ada sesuatu yang membuat kondisi berubah. “Kesabaran rakyat luar biasa dan itu potensi. Jadi kalau ada pemimpin menyia-nyiakan ini, rasanya kok memubazirkan potensi ini,” kata satu-satunya kandidat dari kawasan Tapal Kuda ini.
Jatuh Cinta di Hotel Calon Mertua
Sepak terjang Saifullah Yusuf tak lepas dari sosok Ummu Fatma, istrinya yang dikenal tahun 1995 lalu. Kala itu, Gus Ipul menginap di Hotel Fatma, Jombang. Saifullah langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Setahun kemudian, Gus Ipul menikahi Ummu Fatma yang tak lain anak pemilik Hotel Fatma. Mereka dikaruniai empat anak; Selma Halida, M Falihuddin Daffa, M Rayhan Hibatullah, dan M Farrelino Ramadhan. Ummu Fatma juga turut sibuk mendampingi Gus Ipul sebelum maupun semasa kampanye.
Kala suaminya berdialog dengan abang becak di depan Masjid Agung Kota Kediri sebelum salat Maghrib, ia membagi stiker kecil dan pin bergambar KarSa kepada warga lain. “Mohon dukungannya, ya,” ujarnya sembari memberikan pin. Berkeliling seharian, tentu membuatnya letih. Apalagi, harus berjalan kaki menyusuri jalan-jalan kota dan masuk gang untuk berziarah ke Istana Gedong. “Saya tak ingin berandai-andai. Tetapi, pengalaman sewaktu jadi istri menteri, saya membantu ibu Ani (Kristiani, istri Presiden SBY, Red), untuk rumah pintar dan mobil pintar. Saya rasa, nanti juga akan berlaku yang sama, membantu Bude Karwo (Nina Kirana, istri Soekarwo, Red) dalam mendukung program pemerintah Jatim,” katanya.
Disinggung soal pandangannya terhadap Gus Ipul, Ummu Fatma melihatnya sebagai sosok yang pantang menyerah. Katanya, selain humoris, Gus Ipul juga penuh perhatian, sabar dan ramah. “Suami saya itu orangnya pantang menyerah, ia akan berusaha meraih apa yang diinginkannya,” ujar perempuan berkacamata bening ini. (PKS Jatim online)
Sebungkus rokok yang masih banyak isinya malah dia kantongi. “Tak gawa sik rokokmu, yo,” kata Gus Ipul. Irfan, pemuda dari Kemlagi, Mojokerto itu tertawa mengenang perkenalan pertamanya dengan Gus Ipul. Irfan jadi terkesan pada kelihaian Gus Ipul menjalin keakraban dengan orang yang baru dikenalnya.
Selama masa kampanye, dia juga sering menggunakan pendekatan spontan. Sewaktu dia berjalan-jalan di Jl Doho, jantung Kota Kediri, 15 Juli lalu, ada seorang ibu yang senang melihatnya.
Bu Retno, warga Jl Doho, sampai berlari keluar rumah padahal masih mengenakan daster dengan rambut digelung tak rapi. Perempuan Tionghoa itu bahkan berlarian sambil terus bicara lewat telepon portable di telinga kanannya. “Pak, pak, ini ada Gus Ipul,” teriak Bu Retno kepada lawan bicaranya di telepon ketika melihat Gus Ipul mendekat. “Ini saya lagi telepon suami,” ujar Bu Retno sembari menepuk-tepuk lengan Gus Ipul. Telepon pun berpindah ke tangan Gus Ipul. Spontan saja Gus Ipul berbicara dengan suami Bu Retno di ujung telepon.
“Pak, perkenalkan. Saya Gus Ipul, calon wakil gubernur, ada salam dari Pakde Karwo. Mohon pangestunya ya,” ujar Gus Ipul. Melihat itu, Bu Retno tak bisa menahan tawanya. Tubuhnya bergetar karena tawa, tangannya tak berhenti menepuk-tepuk lengan Gus Ipul. Ibu yang sudah berumur ini lantas menggamit tangan Gus Ipul. “Gus Ipul itu orange supel yo? Kok sudah seperti kenal lama,” katanya, riang sekali. Padahal, dalam anggapan Bu Retno, Gus Ipul tergolong orang penting dan terkenal.
Lain lagi ketika dia nyelonong ke sebuah Apotik Doho Sehat di Kediri. Dia menyalami tiga karyawati di sana. Salah satunya langsung meminta baju seragam KarSa, akronim Soekarwo-Saifullah, seperti yang dipakai Gus Ipul. “Mestinya kasih baju yang seperti ini,” si karyawati iseng sembari menunjuk baju yang dipakai Gus Ipul.
Lagi-lagi, Gus Ipul menanggapi spontan. “Ijol, yo?” katanya, membuka kancing paling atas bajunya seolah-olah hendak membuka baju betulan. Ketiga karyawati itu tertawa, pelanggan apotik ikut ngakak.
Gus Ipul memang humoris dan luwes bergaul dengan semua golongan. Mantan anggota DPR RI dari PDIP, lalu masuk PKB dan tak lama kemudian menjabat Sekjen DPP PKB ini mirip pamannya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Ipul muda pernah bercita-cita menjadi guru madrasah. Tetapi dia garis hidupnya ternyata di luar ‘kendali’. Meski begitu, Gus Ipul memandang semua pekerjaan mulia. “Wak Modin itu pun mulia, jabatan apa saja mulia,” katanya kepada Imam Hidayat dari Harian Surya.
Sebagai cucu pendiri NU dan mantan menteri, Gus Ipul tidak merasa rendah ketika dijagokan sebagai cawagub berpasangan dengan cagub Soekarwo. Baginya, esensinya bukan jabatan tetapi kepatuhan pada kiai, serta keinginannya berkontribusi bagi tanah kelahirannya.
Para kiai yang meminta saya untuk maju. Apalagi bagi saya jabatan wagub tak bisa disandingkan dengan menteri. Wagub itu dipilih oleh rakyat,” kata lelaki kelahiran Pasuruan, 28 Agustus 1964 ini. Ia pun melihat banyak hal saat berkeliling Jatim. Dia lebih banyak mendengar langsung keluhan rakyat. Maklum, Gus Ipul juga cukup lama jadi wartawan. “Saya ini orangnya simple. Saya lebih senang yang spontanitas. Karena spontanitas ini saya bisa lebih improvisasi diri,” kata pengagum Wahid Hasyim, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dan Ali Syari’ati ini.
Sebelum dan selama kampanye, Gus Ipul memahami rakyat sedang susah dan prihatin karena harga barang-barang pokok naik. “Keinginan mereka sederhana, bagaimana harga barang-barang pokok ini bisa turun. Ya tidak turun drastis, tetapi bisa terjangkau,” imbuhnya. Ia pun menyimpulkan, solusinya meningkatkan daya beli masyarakat. Salah satunya membuka lapangan kerja dengan model padat karya. “Padat karya di desa-desa harus diperbesar. Kita berikan uangnya ke desa, sehingga desalah yang menentukan apakah uang ini untuk pembangunan jalan, air bersih, atau permodalan atau apa-lah yang mereka lebih tahu kebutuhannya. Pemprov hanya akan mengawasi apakah uang itu dipergunakan dengan benar atau tidak,” bebernya.
Tetapi, di tengah keprihatinan ini, masyarakat masih berharap ada sesuatu yang membuat kondisi berubah. “Kesabaran rakyat luar biasa dan itu potensi. Jadi kalau ada pemimpin menyia-nyiakan ini, rasanya kok memubazirkan potensi ini,” kata satu-satunya kandidat dari kawasan Tapal Kuda ini.
Jatuh Cinta di Hotel Calon Mertua
Sepak terjang Saifullah Yusuf tak lepas dari sosok Ummu Fatma, istrinya yang dikenal tahun 1995 lalu. Kala itu, Gus Ipul menginap di Hotel Fatma, Jombang. Saifullah langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Setahun kemudian, Gus Ipul menikahi Ummu Fatma yang tak lain anak pemilik Hotel Fatma. Mereka dikaruniai empat anak; Selma Halida, M Falihuddin Daffa, M Rayhan Hibatullah, dan M Farrelino Ramadhan. Ummu Fatma juga turut sibuk mendampingi Gus Ipul sebelum maupun semasa kampanye.
Kala suaminya berdialog dengan abang becak di depan Masjid Agung Kota Kediri sebelum salat Maghrib, ia membagi stiker kecil dan pin bergambar KarSa kepada warga lain. “Mohon dukungannya, ya,” ujarnya sembari memberikan pin. Berkeliling seharian, tentu membuatnya letih. Apalagi, harus berjalan kaki menyusuri jalan-jalan kota dan masuk gang untuk berziarah ke Istana Gedong. “Saya tak ingin berandai-andai. Tetapi, pengalaman sewaktu jadi istri menteri, saya membantu ibu Ani (Kristiani, istri Presiden SBY, Red), untuk rumah pintar dan mobil pintar. Saya rasa, nanti juga akan berlaku yang sama, membantu Bude Karwo (Nina Kirana, istri Soekarwo, Red) dalam mendukung program pemerintah Jatim,” katanya.
Disinggung soal pandangannya terhadap Gus Ipul, Ummu Fatma melihatnya sebagai sosok yang pantang menyerah. Katanya, selain humoris, Gus Ipul juga penuh perhatian, sabar dan ramah. “Suami saya itu orangnya pantang menyerah, ia akan berusaha meraih apa yang diinginkannya,” ujar perempuan berkacamata bening ini. (PKS Jatim online)
hidup karsa ojo lali brengose tanggal 5 november
ReplyDelete