Monday, October 4, 2010

Mahasiswa: Menyeimbangkan Kuliah dan Berorganisasi

Apa bedanya siswa dengan mahasiswa? Hal ini sangat penting untuk dipahami terlebih dulu oleh mahasiswa, yang masih baru khususnya. Dalam jenjang pendidikan di negeri ini dimulai dengan istilah murid, siswa kemudian mahasiswa. Murid dialamatkan untuk peserta didik TK dan SD, dimana dalam pembelajarannya full controled oleh guru. Peserta didik di jenjang SMP dan SMU disebut dengan siswa, dimana porsi guru masih dominan di kelas namun siswa mulai diberi porsi kemandirian. Ingat tentang istilah CBSA. Sedangkan peserta didik perguruan tinggi dikenal dengan sebutan mahasiswa, dimana model pembelajarannya adalah pedagogi (cara belajar orang [dianggap] dewasa). Dosen hanya mengarahkan, porsi keaktifan mahasiswa tidak kurang dari 60%. Jadi, jika ada mahasiswa yang tidak aktif belajar mandiri di kampus, alias terbawa masa-masa sekolahnya, itu pertanda tinggal menunggu waktu “terjungkalnya” tiba. Hati-hati!

Mahasiswa adalah status sosial yang sangat strategis. Sejarah negeri ini sudah membuktikannya. Berbagai torehan sejarah nasional tak lepas dari peran serta mahasiswa, diantaranya: kebangkitan nasional, sumpah pemuda, proklamasi, lahirnya orde baru hingga reformasi 1998. Di lingkungan masyarakat, mahasiswa dinilai sebagai strata sosial yang unggul, elite karena tidak banyak anak usia pasca SMU/K yang bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Efeknya, sekembali dari menuntut ilmu hingga akhirnya meraih gelar sarjana, masyarakat akan menyematkan label yang lebih tinggi dibandingkan yang lulusan sekolah. Berbagai tawaran amanah berdatangan: ketua karang taruna, pengurus remaja masjid, direktur koperasi, dsb. Jadi, lulusan mahasiswa akan dihadapkan dengan peran-peran strategis dalam bermasyarakat nantinya serta harapan-harapan untuk perubahan yang lebih baik.

Mahasiswa juga punya peranan penting dalam membangun bangsa. Lulusan kampus akan ditampung ke dalam lapisan sosial yang bernama birokrat dan teknokrat, alias pemerintahan dan swasta. Ya, mahasiswa kelak akan bekerja, mengimplementasikan ilmu yang diperolehnya di kampus ke dalam dunia kerja. Saya masih yakin sekitar 90 persen orang tua di negeri ini mengharapkan putra/ putrinya bekerja selepas kuliah. Selebihnya mungkin sekedar mendapatkan status sosial, dari pada menganggur, atau ingin menemukan jodohnya!  Jadi, mahasiswa punya sumbangsih yang sangat besar dalam menghidupkan dunia kerja kantoran sebuah negeri.

Supaya bisa berinteraksi dengan baik dalam masyarakat pasca kuliah ada syaratnya. Pun demikian supaya kelak bisa bekerja dengan baik pasca kuliah juga ada syaratnya. Semuanya harus bisa terpenuhi selama berada di kampus. Apa saja syarat-syarat itu? Singkat kata adalah yang disebut dengan HARDSKILL (IQ) dan SOFTSKILL (EQ dan SQ), ketrampilan di bidang keahliannya serta ketrampilan dalam hidup. Hardskill berkaitan erat dengan kompetensi yang diperoleh dari bangku kuliah dan laboratorium program studi yang dipilih oleh mahasiswa. Misal mahasiswa Teknik Informatika bisa membuat program, mahasiswa Sistem Informasi bisa menganalisa sistem, dsb. Sedangkan softskill terdiri dari dua komponen, yaitu inter personal skill (berinteraksi dengan orang lain) dan intern personal skill (mengenali diri sendiri). DIKTI membuktikan bahwa kesuksesan lulusan kampus dipengaruhi oleh: softskill 40%, network 30%, hardskill 20% dan keuangan 10%.

Hardskill dan softskill, keduanya harus seimbang. Tidak sedikit orang pintar tetapi gagal karirnya. Dan sebaliknya, cukup banyak mahasiswa yang aktif di organisasi tetapi kuliahnya malah kena DO. Di ruang kelas perbandingan hardskill-softskill sekitar 70:30. Sedangkan dalam berorganisasi bisa sebaliknya. Yang kita harapkan IPK bisa lebih dari 3, lulus tepat waktu dan dapat pekerjaan yang lumayan bagus. Jadi, kuliah harus beres, organisasi jalan terus. Bagaimana bisa? Kuncinya: pandailah membagi waktu dan mengatur skala prioritas kegiatan. Selamat menjadi mahasiswa! :)

Disampaikan dalam acara Lanik TF-SI
3 Oktober 2010 di Coban Talun.

No comments:

Post a Comment