Setiap momentum tahun ajaran baru, rasanya topik pengkaderan mahasiswa akan kembali mencuat, setidaknya di level masing-masing kampus. Dan mungkin akan menjadi isu nasional ketika terjadi hal-hal yang luar biasa (layak jual bagi media), baik yang positif maupun negatif. Misalnya mahasiswa baru sebuah kampus membuat gerakan sumpah anti korupsi dengan menghadirkan petinggi KPK. Atau sebaliknya, kejadian maba yang meninggal gara-gara pengkaderan (baca: perploncoan) oleh seniornya.
Sahabat, dalam tulisan ini saya akan coba mengembalikan entitas mahasiswa ke dalam kaum yang intelek, rasional, logis dan punya peran strategis ketika kelak kembali terjun ke masyarakat sosial selesai wisudanya. Dengan predikat yang disandangnya tersebut maka tidaklah berlebihan jikalau pengkaderan mahasiswa baru juga mengedepankan pembinaan bakat-bakat dan sifat-sifat intelektualitasnya. Intelek/ cerdas dalam segala hal. Tidak hanya akalnya tetapi juga emosi dan spiritualnya. Mengapa demikian? Karena kecerdasan-kecerdasan itulah yang akan mengarahkan kepada kesuksesan dan kebahagiaan hidupnya di masa yang akan datang.
Bagaimana caranya? Menurut saya paradigma pengkaderan harus segera diubah. Harus lebih serius dan sungguh-sungguh. Keberhasilan atau kegagalan pada kegiatan ini akan berdampak panjang bagi mahasiswa. Baik buruknya akan diingat dalam waktu lama. Jangan lagi ada senior yang mengkader yuniornya semata-mata hanya karena sewaktu dulu ia menjadi maba ya demikian itu yang ia peroleh! Apalagi jika ada motif "balas dendam". Naudzubillah! Dan jangan ada lagi pengkaderan yang landasannya hanya kalimat "pokoknya".
Sahabat, saya pikir sudah saatnya pengkaderan mahasiswa baru harus benar-benar memperhatikan kaidah penalaran ilmiah. Sehingga pengkaderan akan terbebas dari sekedar tradisi, rutinitas ataupun ajang pelampiasan dendam. Sudah saatnya pengkaderan dilaksanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah keilmuan yang notabene itulah yang akan ditanamkan kepada mahasiswa. Apa saja kaidahnya? Sepertinya bukanlah hal yang baru. Dimulai dengan perumusan latar belakang, dimana didalamnya benar-benar ada rumusan masalah yang valid, tujuan yang jelas dan terukur, parameter keberhasilan yang definitif, batasan masalah, analisa yang cukup mendalam terkait peserta pengkaderan, kondisi lapangan dan gambaran karakter output yang diharapkan/ dibutuhkan.
Selanjutnya pemilihan metodologi/ teknik/ cara. Sudah sepantasnya dilakukan studi ilmiah terkait metode-metode yang paling pas dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Tidak salah jika sebelumnya dilakukan evaluasi serius terkait kegiatan serupa tahun-tahun sebelumnya, studi banding ke kampus-kampus yang lebih mapan, ataupun mendatangkan pakar pengembangan SDM yang memang berkompeten, dst. Harapannya, panitia pengkaderan sudah tidak asal nyletuk, "dulu begini, ya sekarang juga harus begini", dan komentar-komentar seragam lainnya.
Tahap kritis selanjutnya adalah pelaksanaan pengkaderan. Satu hal yang terus terang saya soroti adalah pelaksananya sendiri. Mahasiswa-mahasiswa senior yang berinteraksi dengan maba dalam kegiatan pengkaderan seolah-olah bekerja sakarepe dhewe dan bahkan ada beberapa orang yang sebenarnya belum layak untuk mengkader adik kelasnya. Pengkader memang bukan mahasiswa yang sempurna, namun setidaknya dia punya prestasi yang bisa diteladani oleh adik-adik kelasnya. Tidak harus yang ber-IPK 4! Karena prestasi itu tidak melulu akademis. Bisa dalam hal organisasi, pengalaman kegiatan, kecakapan berkomunikasi, lomba-lomba dan pertandingan olah raga. Tidak asal
yang suaranya lantang, mudah marah-marah, ataupun bertampang sangar. Mau dijadikan mahasiswa ataukah preman??? Lembaga penyelenggara (hima, bem, dst) mestinya melakukan seleksi yang benar-benar serius untuk memilih senior-senior yang berkompeten, berkualitas dan layak mengkader. Tidak asal mendaftar kemudian otomatis jadi. Lebih baik sedikit tapi berkualitas daripada banyak tapi asal-asalan dan berpotensi menggagalkan target yang sudah dicanangkan.
Monitoring dan evaluasi. Dua hal ini sepertinya jarang dilakukan dalam rangkaian pengkaderan. Sangat baik jika bisa dilakukan day 2 day alias setiap hari, untuk memantau perkembangan maba. Sudahkah tercapai target yang diinginkan? Efektifkah metode yang dipakai? Kejadian apa saja yang di luar perkiraan? Bagaimana respon maba dan senior? Dan setidaknya di akhir pelaksanaan dilakukan evaluasi total. Berapa persen target yang tercapai? Apa saja masukan baik kritik maupun saran untuk kegiatan tahun depan? Bidang mana saja yang sukses dan yang belum? Dst.
Terakhir, yang tidak kalah penting adalah NIAT. Masing-masing elemen penyelenggara maupun peserta pengkaderan harus JUJUR dengan niatnya. Bersihkan niat dari nafsu dan kepentingan pribadi. Kegiatan pengkaderan adalah investasi yang sangat berharga bagi maba khususnya dan lembaga/ organisasi pada umumnya. Kesuksesan pengkaderan akan sangat berarti bagi maba di waktu-waktu yang akan datang. SO, harus serius dan jangan asal-asalan. Dan alangkah luar biasanya ketika kemudian pada waktu penutupan acara, para mahasiswa baru, sang adik kelas, tanpa ada komando tiba-tiba datang menghampiri panitia dengan tatapan ceria dan senyum mengembang menjabat erat tangan Anda kemudian berkata, "Terima kasih, mas/ mbak. Apa-apa yang telah mas/mbak berikan sangatlah bermanfaat". Dan seketika jiwa Anda pun akan terbang melayang ke langit tujuh, sampai-sampai topi atau helm yang dipakai semakin sesak. Karena kepala Anda semakin lama semakin membesar! :D
Semoga bermanfaat.
Note.
Jumlah peserta banyak sedikit bukanlah masalah. Jikalau konsep kegiatan pengkaderan benar-benar berkualitas dan bermanfaat, insyaAlloh peserta akan proaktif mengikuti tanpa harus dipaksa-paksa dan ditakut-takuti :)
No comments:
Post a Comment