Tuesday, April 14, 2009

Partai Baru: Antara Idealisme dan Kapitalisme

Pemungutan suara pemilu 2009 barusan selesai. Sekarang saatnya penghitungan suara. Surat suara yang berada di TPS dikumpulkan di tingkat kecamatan. Berita acara masing-masing TPS direkap di tingkat kelurahan untuk kemudian ditabulasikan di tingkat kecamatan. Masing-masing partai juga bisa merekap suaranya melalui laporan dari saksi yang disebar di setiap TPS. Dengan demikian pimpinan parpol bisa segera tahu seberapa signifikan perolehan suara partainya.

Perolehan suara sementara sudah bisa diprediksi. Secara logika perolehan bakal berjalan timpang antara parpol besar dan parpol kecil. Maklum "kue"nya sama tapi diperebutkan 44 partai. Kalaupun dibagi rata maka hanya kebagian 2-3 % bagian. Kenyataannya kan tidak. Partai besar perolehannya bisa sedemikian signifikan, sampai 1/3 bagian kue. Ada juga yang kebagian 1/5, 1/8 atau 1/10. Praktis hampir 70 % bagian sudah digenggam parpol besar. Sisanya diperebutkan parpol-parpol kecil. Disinilah letak potensi jual beli suara.

Parpol dengan perolehan suara kecil, hampir semuanya merupakan parpol baru. Dilematis. Bertolak belakang antara harapan dan kenyataan. Parpol baru muncul dengan membawa idealisme yang tinggi. Umumnya tumbuh karena ketidakpuasan dengan parpol yang sudah ada. Namun bisa juga karena sempalan dari parpol lama. Bahkan mungkin juga parpol lama yang ganti nama. Semuanya berkoar-koar mengusung perubahan dan perbaikan. Ya, sebuah harapan baru. Namun faktanya beda. Perolehan suara ternyata umumnya tidak begitu signifikan. Sedikit mendapat simpati dari masyarakat.

Jika politisi partai dan calegnya bermoral baik, itu semua dianggap sebagai sebuah tantangan ke depan, perjuangan belum maksimal. Namun jika politisinya pragmatis, oportunis maka pikiran di benaknya cuma satu, "Sudah habis banyak, masak nggak dapat apa-apa?". Maklum kampanye partai maupun caleg sudah habis-habisan, keluar jutaan bahkan milyaran rupiah. Ketika ternyata suara pemilihnya nggak banyak sehingga sangat kecil kemungkinan dapat kursi, maka gimana caranya bisa balik modal! Solusinya cuma satu: Jual perolehan suara.

Masa-masa seperti sekarang sangat rawan terjadi praktek jual beli suara. Petinggi parpol dan caleg mungkin sedang tawar menawar suara dan saling berhitung. Tak lupa juga memikirkan bagaimana skenario cantik untuk memuluskan praktek haram mereka. Manipulasi suara, menyuap petugas, bahkan bisa juga merekayasa supaya saksi perhitungan suara di kecamatan, kota maupun propinsi dari parpol lain yang menjadi penghalangnya tidak jenak berada di tempat, misal diberi obat penidur, cuci perut dsb. Mungkin juga kong kalikong antara saksi-saksi aliansi setan tersebut. Ketika ada satu saksi yang protes, yang lain sepakat tidak protes. Disini yang benar akan kalah.

Ilustrasi sederhananya sbb. Misal syarat untuk mendapat 1 kursi di daerah X adalah 20 suara. Di daerah X dapat jatah 5 kursi. Kondisi awal partai A dapat 50 suara. Partai B dapat 20 suara. Partai C dapat 15 suara. Partai D 10 suara. Dan partai E 5 suara. Maka perolehan kursinya: partai A dapat 2 kursi dengan sisa 10 suara. Partai B pas 1 kursi. 2 kursi sisa diperebutkan 3 partai yang suaranya tidak penuh dan partai A yang punya 10 sisa suara. Jika sistemnya benar maka yang akan dapat adalah partai C 1 kursi dan 1 kursi lagi diperebutkan oleh partai D dan partai A. Partai E jelas tidak akan dapat kursi, namun ia bisa menjual suaranya, bisa ke partai A atau partai D. Tergantung mana yang memberikan penawaran tertinggi.

Indonesia oh Indonesia. Naudzubillah... :(

No comments:

Post a Comment